Monday, June 5, 2017

Untuk apa saja umurmu?

9:15 PM Posted by Kaki Rima No comments
Pertama kali saya sadar untuk sholat 5 waktu dan mengaji, serta menjalankan kewajiban saya sebagai umat Muslim adalah ketika saya berumur 5 SD. Ceritanya sederhana, saat itu, saya pulang sekolah naik angkot. Pas turun dari angkot (bemo kala itu saya menyebutnya), ada seorang tetangga saya berteriak kepada saya dengan jelas dan mengatakan bahwa saya harus loncat. "Rima, loncattt!!!" Seketika saya kaget dan saya loncat. Saya ingat sekali, saat itu matahari tengah terik, saya sangat kepanasan dan dengan seragam merah putih dengan rok selutut, saya loncat. Saya berlari ke arah mbak itu dan saya bisa melihat dengan jelas, ada ular yang tengah lewat. 

Andaikan.. andaikan saat itu tidak ada tetangga saya yang menyuruh saya lewat, mungkin persoalannya akan menjadi berbeda.Di detik itu saya sadar bahwa saya benar2 hanya anak biasa, manusia biasa, yang masih sangat "tidak" jelas masa depannya. Bahkan saya saat itu hanya memikirkan mengenai lulus dengan baik di sekolah, masuk sekolah negeri, dan seterusnya. Hanya itu. 

Peristiwa itu yang membawa saya pada titik sekarang, dimana saya selalu mempertanyakan untuk apa saya ingin habiskan umur saya di kemudian hari ketika saya besar. Tak banyak orang yang mengetahui apa yang ada dipikiran saya ketika semua orang mengucapkan selamat ulang tahun pada saya setiap tahunnya. Yang jelas, tekad saya hanya satu yaitu bukan menjadi anak yang menyebabkan kedua orang tua saya masuk neraka dan tidak menjadi kakak yang bisa dijadikan contoh bagi adek saya satu-satunya. Iya, hanya itu! Saat itu. 

Saya mengucapkan kembali syahadat ketika saya mulai masuk kuliah, saat pergulatan batin saya terus haus untuk mencari tahu sebenarnya apa tujuan saya sekolah tinggi-tinggi. Untuk "kedamaian" masyarakatkah? untuk prestise kah? untuk apa? Selama itu, saya belum menutup aurat saya, meski tiap hari saya belajar agama lewat materi yang diberikan oleh guru atau dosen saya. Saya sama sekali tidak merasa bahwa menutup aurat adalah suatu hal yang wajib, sama wajibnya dengan sholat dan puasa. Sampai pada suatu waktu di mana saya merasa disitulah titik balik dari hidup saya. Ceritanya mungkin terdengar biasa, tapi percaya saya, ketika itu saya merasakan perihnya kesedihan selama bertahun-tahun. Saya sedih tapi saya tak ingin menunjukkan. Saya rindu tapi tak ingin mengungkapkan. Yang saya tahu, saya hanya panjatkan doa-doa saya pada Tuhan karena saya hanya percaya pada Ia yang bisa mengerti apa harapan dan apa yang saya rasakan. 

Sekarang, saya sedang menulis ini di UK dan sedang belajar Human Rights. Bisa dibayangkan topik apa yang muncul setiap kali saya masuk kelas? LGBT? Death Penalty? Kritikan hukum cambuk di Aceh? Munculnya topik-topik yang sebenarnya sangat bertentangan dengan kepercayaan saya kembali lagi membuat saya bertanya pada diri saya sendiri. "Apakah saya siap mempertanggung jawabkan keilmuan saya, kegunaan saya belajar ini, ketika di hari yang saya "takuti" nanti?" Apakah saya siap untuk menjawab ketika malaikat mempertanyakan kepada saya, untuk apa saja umur saya, saya habiskan? Apakah saya terlalu berani untuk mendukung hal yang dilarang Tuhan saya? Apakah saya terlalu berani untuk melukai hati junjungan saya, Nabi Muhammad SAW? Apakah saya seberani itu membuat nabi saya sedih ketika di ujung maut saja, beliau menangisi umatnya? Duh Gusti.. :'(

Itu sebabnya, saya tidak sedih ketika dosen saya memberi nilai E1 untuk essay saya di mata kuliah International Human Right. Hahahaha.. karena saya adalah satu2nya yang masih kekeuh menulis bahwa hukuman mati itu boleh disaat topiknya adalah "seharusnya hukuman mati dilarang."

atau

Saya mendapat C1 untuk essay di semester lalu tentang topik yang terkait dengan LGBT, wkwkwkw. Saya dengan jelas beranggapan bahwa LGBT memang tidak boleh menurut agama dan peraturan di negara saya. :D

Anehnya, urat malu saya seakan putus ketika teman2 menanyakan saya dapat nilai berapa essaynya. Karena saya tetap beranggapan bahwa nilai essay tidak mencerminkan seberapa paham kita terhadap suatu masalah. Ini tergantung pada kepercayaan dan sudut pandang kita. Dan toh yang dinilai adalah pemikiran saya, jadi dimana letak saya harus malunya? 

Jadi, untuk apa saja umurmu?
Itu masih menjadi pertanyaan yang menakutkan bagi saya sehingga saya takut untuk berlaku yang aneh2 dan merugikan saya suatu hari nanti.

0 comments: